Jika ada hal yang kutakutkan, barangkali itu adalah sebuah kehilangan…
Kebohongan, guyonan. Mungkin inilah yang mengawali kisah percintaanku dengannya. Gadis kecil yang diselimuti nada di sekelilingnya.
Tak pernah sekalipun terbayang bahwa aku akan menjalin asmara dengannya. Sungguh, ia gadis yang biasa. Jika ada hal yang istimewa darinya, itu hanyalah suaranya. Saat itu aku hanya jatuh cinta pada suaranya, bukan pada pemilik suara itu. Hanya suaranya saja!
Di suatu masa di senja itu, diantara keriuhan alunan gitar, perkusi, biola, bas, suling, suara fals dan sumbang, sesekali aku mencuri pandang kepadanya. Menikmati suaranya, mendengarkan bait demi bait lagu yang mengalun dari bibirnya, seksi….
Aku ingin mendapat perhatian lebih darinya. Meski ku tahu, sesekali, ia juga melempar pandang padaku, menawarkan senyum abadi yang hingga kini masih setia diberikannya untukku. Aku merasa teduh, mendapatkan sesuatu yang hingga kini masih menjadi milikku. Utuh.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Siemens-ku di senja itu. Aku mengerti maksudnya. Ia memang seorang gadis kecil yang tak pernah merasa puas apabila tidak menemukan jawaban yang memuaskannya. SMS itu bermula ketika aku membisikkannya kalimat tak jelas di telinganya, di sela-sela latihan persiapan pra rekaman Komposisi Seperti Angin —Penyanyi Sakit Jiwa.
“Gak ada apa-apa. Aku hanya menggumam gak jelas,” kataku sekenanya.
Jawabanku tak memuaskannya. Ia kembali memberondongku dengan berbagai pertanyaan, masih dalam konteks yang sama.
Aku bingung. Diantara kemelut itulah, sifat jahilku tumbuh lagi.
“I love u,” aku mengiriminya SMS sambil menyeringai. Sungguh, sama sekali tak pernah terpikir aku akan mengirim pesan seperti itu. Aku diam saja, menunggu reaksinya yang rupanya disambutnya dengan makna pesan yang sama.
Tidak seperti percintaanku sebelumnya, dengan gadis kecil itu, aku menemukan kisah percintaan yang tak biasa. Aku begitu nyaman. Tidak ada kepura-puraan dalam cinta kami. Aku dan dia!
Sampai kini, kami telah terbiasa bersama. Hampir setiap hari, waktuku kuhabiskan untuk menemaninya. Meski kadang bosan merayap, aku tetap berusaha bertahan seraya meyakini, dialah gadis itu. Gadis yang akan menemaniku, hari ini dan esok nanti. Gadis yang akan memandangku dengan tatapan teduh penuh cinta. Gadis yang akan senantiasa setia memberiku senyum tulus, tanpa keterpaksaan, meski sangat berbeda dengan senyum yang seringkali ku berikan padanya.
Maka, jika ada hal yang kutakutkan dalam dunia ini, barangkali itu adalah sebuah kehilangan. Bukan kehilangan gadis kecil itu, tapi kehilangan perasaannya, senyumnya, tatapan teduhnya dan ketulusan cintanya yang hingga kini masih kurasakan, sama seperti ketulusan yang ditawarkannya dulu.Ya, aku takut kehilangan itu semua!
Baca selanjutnya...
Kebohongan, guyonan. Mungkin inilah yang mengawali kisah percintaanku dengannya. Gadis kecil yang diselimuti nada di sekelilingnya.
Tak pernah sekalipun terbayang bahwa aku akan menjalin asmara dengannya. Sungguh, ia gadis yang biasa. Jika ada hal yang istimewa darinya, itu hanyalah suaranya. Saat itu aku hanya jatuh cinta pada suaranya, bukan pada pemilik suara itu. Hanya suaranya saja!
Di suatu masa di senja itu, diantara keriuhan alunan gitar, perkusi, biola, bas, suling, suara fals dan sumbang, sesekali aku mencuri pandang kepadanya. Menikmati suaranya, mendengarkan bait demi bait lagu yang mengalun dari bibirnya, seksi….
Aku ingin mendapat perhatian lebih darinya. Meski ku tahu, sesekali, ia juga melempar pandang padaku, menawarkan senyum abadi yang hingga kini masih setia diberikannya untukku. Aku merasa teduh, mendapatkan sesuatu yang hingga kini masih menjadi milikku. Utuh.
*****
“Kemarin itu Kak Wen’ ngomong apa, sich?”Sebuah pesan masuk ke ponsel Siemens-ku di senja itu. Aku mengerti maksudnya. Ia memang seorang gadis kecil yang tak pernah merasa puas apabila tidak menemukan jawaban yang memuaskannya. SMS itu bermula ketika aku membisikkannya kalimat tak jelas di telinganya, di sela-sela latihan persiapan pra rekaman Komposisi Seperti Angin —Penyanyi Sakit Jiwa.
“Gak ada apa-apa. Aku hanya menggumam gak jelas,” kataku sekenanya.
Jawabanku tak memuaskannya. Ia kembali memberondongku dengan berbagai pertanyaan, masih dalam konteks yang sama.
Aku bingung. Diantara kemelut itulah, sifat jahilku tumbuh lagi.
“I love u,” aku mengiriminya SMS sambil menyeringai. Sungguh, sama sekali tak pernah terpikir aku akan mengirim pesan seperti itu. Aku diam saja, menunggu reaksinya yang rupanya disambutnya dengan makna pesan yang sama.
*****
Hampir dua tahun aku menjalani percintaanku dengannya. Belakangan akhirnya aku tahu ia hanya bercanda ketika mengungkapkan memiliki perasaan yang sama denganku. Ya, sama sepertiku ketika mengungkapkan “cinta” padanya. Percintaan kami diawali dengan sebuah kebohongan, candaan, guyonan, yang akhirnya justru melabuhkan perasaan yang awalnya kami ingkari ke dalam satu komitmen percintaan yang tulus, apa adanya.Tidak seperti percintaanku sebelumnya, dengan gadis kecil itu, aku menemukan kisah percintaan yang tak biasa. Aku begitu nyaman. Tidak ada kepura-puraan dalam cinta kami. Aku dan dia!
Sampai kini, kami telah terbiasa bersama. Hampir setiap hari, waktuku kuhabiskan untuk menemaninya. Meski kadang bosan merayap, aku tetap berusaha bertahan seraya meyakini, dialah gadis itu. Gadis yang akan menemaniku, hari ini dan esok nanti. Gadis yang akan memandangku dengan tatapan teduh penuh cinta. Gadis yang akan senantiasa setia memberiku senyum tulus, tanpa keterpaksaan, meski sangat berbeda dengan senyum yang seringkali ku berikan padanya.
Maka, jika ada hal yang kutakutkan dalam dunia ini, barangkali itu adalah sebuah kehilangan. Bukan kehilangan gadis kecil itu, tapi kehilangan perasaannya, senyumnya, tatapan teduhnya dan ketulusan cintanya yang hingga kini masih kurasakan, sama seperti ketulusan yang ditawarkannya dulu.Ya, aku takut kehilangan itu semua!
Catatan: Kisah ini memang sengaja tak diberinya judul. Ia tak ingin kisah ini hanya berjalan ataupun berhenti sebatas peristiwa biasa saja.